Asean.or.id – Ruteng, Manggarai, 8 Oktober 2025 – Kasus penganiayaan berat terhadap seorang mahasiswa di Nusa Tenggara Timur (NTT) telah memasuki tahap penyidikan serius. Kepolisian Resor (Polres) Manggarai menetapkan enam orang sebagai tersangka, termasuk empat anggota polisi aktif dan dua pegawai harian lepas (PHL). Korban, Claudius Aprilianus Sot (23), mengalami luka-luka serius akibat insiden yang terjadi pada Minggu, 7 September 2025. Penetapan tersangka ini menandai komitmen aparat untuk menangani kasus kekerasan yang melibatkan oknum internalnya secara tegas dan transparan.
Insiden ini tidak hanya menimbulkan trauma bagi korban, tetapi juga memicu keresahan di kalangan masyarakat setempat. Mahasiswa yang berasal dari Kelurahan Pitak, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, sedang menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ruteng. Kondisinya kini stabil, berkat pemantauan ketat dari tim medis Dokkes Polres Manggarai. Oleh karena itu, pihak berwenang berupaya memastikan keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, guna memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
Penetapan Tersangka Penganiayaan Berat
Proses penyelidikan berjalan cepat setelah laporan korban masuk ke Polres Manggarai. Wakapolres Manggarai, Kompol Mei Charles Sitepu, mengungkapkan bahwa gelar perkara secara internal telah menyimpulkan adanya bukti kuat untuk naik ke tahap penyidikan. “Enam individu telah resmi ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan di ruang tahanan Polres Manggarai. Ini adalah langkah konkret untuk memastikan proses hukum berjalan lancar,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima pada Selasa siang.
Identitas tersangka terdiri dari empat anggota Polri berinisial AES, MN, B, dan MK, serta dua PHL yaitu PHC dan FM. Mereka diduga terlibat langsung dalam aksi penganiayaan yang mengakibatkan korban babak belur. Pasal-pasal yang disangkakan mencakup Pasal 170 ayat (2) ke-2 jo Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang penganiayaan berat, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengenai turut serta melakukan tindak pidana. Dengan demikian, penyidik akan mendalami peran masing-masing tersangka untuk memastikan tuntutan yang tepat.
Kompol Sitepu menekankan bahwa penetapan tersangka ini tidak didasari oleh tekanan eksternal, melainkan bukti yang terkumpul dari saksi mata, visum et repertum, dan rekaman CCTV di lokasi kejadian. “Kami tidak akan membiarkan oknum merusak citra Polri. Semua proses dilakukan secara profesional,” tambahnya. Selain itu, tim penyidik telah memeriksa lebih dari 10 saksi, termasuk rekan korban dan petugas keamanan setempat, untuk melengkapi berkas perkara.
Kronologi Penganiayaan Mahasiswa yang Menggemparkan
Kejadian penganiayaan mahasiswa bermula pada Minggu malam, 7 September 2025, di sekitar wilayah Polres Manggarai. Claudius, yang sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di Ruteng, dilaporkan terlibat dalam situasi yang memanas dengan oknum polisi. Awalnya, insiden ini diduga berawal dari kesalahpahaman kecil yang kemudian eskala menjadi kekerasan fisik. Korban mengaku dipukul dan ditendang secara brutal oleh enam orang tersebut, hingga mengalami patah tulang dan luka robek di beberapa bagian tubuh.
Menurut kesaksian awal dari korban, kejadian terjadi saat ia melintas di depan kantor polres untuk pulang ke asrama. Tanpa alasan yang jelas, ia ditarik masuk ke area internal dan menjadi sasaran penganiayaan. “Saya tidak tahu apa yang salah. Tiba-tiba saja mereka menyerang saya,” cerita Claudius melalui perwakilan keluarganya. Oleh karena itu, pihak penyidik segera membentuk tim khusus untuk merekonstruksi kejadian, yang dijadwalkan dilakukan dalam waktu dekat.
Kasus serupa di masa lalu sering kali menimbulkan kontroversi, di mana penanganan internal dianggap kurang transparan. Namun, dalam kasus ini, Polres Manggarai tampak berkomitmen untuk menghindari tudingan tersebut. Misalnya, mereka telah melibatkan jaksa penuntut umum sejak tahap awal penyidikan, memastikan pengawasan eksternal yang ketat.
Respons Polres: Permintaan Maaf dan Pemantauan Kesehatan
Dalam upaya meredam keresahan masyarakat, Kapolres Manggarai secara pribadi menemui keluarga korban untuk menyampaikan permohonan maaf. Kunjungan ini dilakukan sehari setelah penetapan tersangka, di mana pimpinan polres menjanjikan keadilan penuh bagi Claudius. “Kami sangat menyesal atas kejadian ini. Polri tidak mentolerir tindakan kekerasan dari oknumnya sendiri,” kata Kapolres dalam pertemuan tersebut.
Selain itu, Dokkes Polres Manggarai terus memantau kondisi kesehatan korban. Claudius masih menjalani perawatan di RSUD Ruteng, dengan prognosis pemulihan yang positif. Tim medis melaporkan bahwa korban mengalami trauma fisik berat, termasuk memar di wajah dan dada, serta cedera pada tangan kanannya. Dengan demikian, biaya pengobatan sepenuhnya ditanggung oleh pihak polres sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Pemantauan ini juga mencakup aspek psikologis, di mana korban didampingi oleh konselor untuk mengatasi trauma yang dialaminya. “Kesehatan korban adalah prioritas utama kami. Kami akan memastikan ia pulih sepenuhnya sebelum kembali ke rutinitas studinya,” jelas Kompol Sitepu. Langkah ini diharapkan dapat membangun kembali kepercayaan keluarga terhadap institusi kepolisian.
Imbauan dan Komitmen untuk Proses Hukum Transparan
Polres Manggarai mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dan mempercayai jalannya proses hukum. “Jangan biarkan isu ini memicu konflik sosial. Kami berkomitmen menuntaskan perkara ini secara terbuka dan akuntabel,” tegas Wakapolres. Oleh karena itu, pihak berwenang telah membuka saluran pengaduan khusus bagi siapa saja yang memiliki informasi tambahan terkait kasus ini.
Kasus penganiayaan mahasiswa ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh personel Polri di wilayah Manggarai. Internal polres telah menggelar sosialisasi etika profesi untuk mencegah kejadian serupa. Selain itu, pimpinan Polri tingkat provinsi NTT berencana melakukan audit internal terhadap penanganan kasus kekerasan yang melibatkan anggota.
Dalam konteks yang lebih luas, insiden ini menyoroti pentingnya reformasi di tubuh kepolisian. Para aktivis hak asasi manusia (HAM) di NTT menyambut baik penetapan tersangka, tetapi menuntut agar sanksi disertai dengan perubahan sistemik. “Ini langkah awal yang baik, tapi perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih kuat untuk melindungi warga dari oknum,” ujar seorang perwakilan LSM setempat.
Dampak Sosial dan Harapan ke Depan
Penganiayaan mahasiswa seperti ini tidak hanya berdampak pada korban secara pribadi, tetapi juga pada kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum. Di Manggarai, yang dikenal dengan budaya gotong royong yang kuat, kejadian ini memicu diskusi luas di media sosial dan forum komunitas. Banyak warga menyuarakan dukungan untuk Claudius, dengan tagar #KeadilanUntukClaudius menjadi tren lokal.
Untuk mencegah pengulangan, Polres Manggarai berencana mengintegrasikan pelatihan hak asasi manusia ke dalam program rutin personelnya. Dengan demikian, diharapkan budaya kepolisian yang lebih humanis dapat terbentuk. Publik juga diundang untuk berpartisipasi dalam pengawasan, melalui program patroli bersama atau forum dialog terbuka.
Pada akhirnya, kasus ini menjadi momentum untuk memperkuat akuntabilitas institusi. Korban seperti Claudius berhak atas keadilan yang cepat dan adil, sementara pelaku harus dihukum sesuai hukum. Polres Manggarai menjanjikan update berkala mengenai perkembangan penyidikan, guna menjaga transparansi. Masyarakat Manggarai kini menanti vonis akhir, dengan harapan ini menjadi titik balik menuju penegakan hukum yang lebih baik.